Banyak orang mengenal Jepang sebagai negara yang terkenal dengan
cosplay dan anime, namun, apakah kamu tahu kalau negara tersebut
sebenarnya memiliki masalah besar dengan hal tersebut. Cosplay di Jepang
telah menjadi suatu sumber dari berbagai macam masalah seperti obsesi
yang sangat besar terhadap suatu hobi hingga rasisme.
Baru-baru ini
ada pergerakan baru di Jepang
yang mendapat dukungan dari berbagai pihak di negara tersebut, dan
tujuan dari gerakan tersebut adalah untuk menghentikan rasisme dari
cosplayer Barat terhadap orang Asia yang telah memisahkan para penggemar
anime. Gerakan ini bahkan memiliki halaman mereka sendiri yang telah
menyentuh 6.2 ribu like di Facebook.
Dengan adanya pergerakan tersebut, bukan berarti semua cosplayer di
negara tersebut merasakan hal yang sama, namun, pergerakan yang berasal
dari budaya cosplay ini telah membuktikan bahwa ada suatu masalah besar
yang pada saat ini sedang terjadi.
Sudah jelas cosplay di Jepang sangat berbeda jauh dengan Amerika dan
Eropa. Jika kamu melihat beberapa cosplayer Barat, maka mereka akan
menceritakan bagaimana cosplaying adalah suatu hal yang sangat menarik,
dan ketidakmiripan dengan karakter aslinya tetap mendapatkan apresiasi
dari mereka yang menyaksikannya. Namun, hal ini sangat bertolak belakang
dengan apa yang terjadi di Jepang; hampir tidak ada orang yang
melakukan cosplay jika karakter yang akan mereka gunakan kostumnya tidak
sesuai dengan bentuk tubuh mereka.
Hal tersebut sangat dihindari di Jepang karena jika para cosplayer
melakukan tersebut mereka akan mendapat hinaan dari para penggemar
animenya. Bullying adalah masalah yang sangat besar bagi komunitas
cosplay di Jepang. Salah satu contoh kasus ini adalah ejekan yang
diterima oleh Kanna Motoyoshi setelah dirinya tampil di TV dengan
menggunakan kostum Tieria Erde dari anime
Mobile Suit Gundam 00.
Pengalaman traumatis tersebut telah membuat Kanna
kehilangan berat badannya
hingga 50kg, namun, dia bukanlah satu-satunya orang yang mengalami hal
ini. Berbagai kasus bullying yang berawal dari cosplay telah banyak
bermunculan di Jepang dan para cosplayer menjadi semakin sulit untuk
melakukan hobi mereka tanpa diejek oleh banyak orang.
Salah satu alasan mengapa cosplayer mendapat perlakuan seperti ini di
Jepang adalah karena di negara tersebut cosplaying lebih dianggap
sebagai bisnis daripada hobi. Cosplaying juga menjadi sumber dari
berbagai masalah lain di Jepang, dan beberapa gedung serta acara besar
seringkali melarang cosplayer untuk masuk kedalam tempat mereka.
Cosplaying adalah sesuatu yang direncanakan karena ada dua tipe tempat
yang sering digunakan: lokasi Photoshoot dan Comiket.
Lokasi photoshoot adalah tempat yang dibuat secara khusus untuk
mengambil gambar. Cosplayer biasanya diminta untuk menutupi diri mereka
sampai tiba di lokasi tersebut, dan para fotografernya juga membayar
biaya yang cukup mahal untuk menggunakan tempat tersebut.
Comiket adalah lokasi yang jauh lebih spesifik. Cosplayer biasanya
diminta diam di satu lokasi agar mereka mendapatkan kesempatan untuk
difoto selama kurang lebih dua jam oleh para fotografer yang
mengelilingi mereka. Dengan adanya ratusan kamera yang siap untuk
mengambil gambar dari cosplayer yang bergaya di depan mereka, tidak
heran jika beberapa dari foto tersebut diambil oleh fotografer dengan
niat buruk.
Mungkin semua hal ini terjadi karena Jepang terkenal dengan budaya
cosplaynya. Ditambah lagi Jepang telah menjadi tuan rumah dari berbagai
acara cosplay, termasuk acara World Cosplay Summit, dimana berbagai
cosplayer dari seluruh dunia datang untuk menjadi yang terbaik.
Semua hal tersebut telah melahirkan sebuah budaya dimana cosplay
menjadi sumber penghasilan dan lebih dari sekedar hobi, dan berbeda dari
budaya Barat yang memperlihatkan cosplay sebagai suatu hobi dan tidak
lebih dari itu.
Banyak orang mungkin beranggapan cosplay Barat lebih buruk daripada
Jepang, dan pendapat itu mungkin benar, tapi kita tidak boleh melupakan
apa saja yang terjadi dibelakang layar budaya ini.